Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memberikan keterangan pers terkait RUU Penyesuaian Pidana di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11/2025). Komisi III DPR menyatakan bahwa RUU Penyesuaian Pidana itu harus dibentuk untuk menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang segera diberlakukan pada awal 2026. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.
Matamata.com - Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menilai penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru mulai awal 2026 menjadi fondasi awal percepatan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, Habiburokhman menyampaikan bahwa KUHAP baru mengusung prinsip keadilan restitutif dan restoratif.
Melalui pendekatan tersebut, Polri diharapkan tidak lagi diposisikan sebagai alat kekuasaan, melainkan menjalankan peran sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
“Pemberlakuan KUHAP baru adalah langkah awal percepatan reformasi kepolisian. Komisi III juga akan merevisi Undang-Undang Polri untuk memperkuat fungsi Polri dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” ujar Habiburokhman.
Pernyataan itu disampaikan sebagai respons atas sikap Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) yang mengusulkan pembubaran Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Habiburokhman menegaskan pihaknya menghargai berbagai masukan dari masyarakat, termasuk dari unsur yang tergabung dalam komisi tersebut. Namun demikian, ia menilai perlu adanya pelurusan agar usulan yang disampaikan tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusi sebagai amanat reformasi.
“Perlu diluruskan agar usulan tersebut tidak mengangkangi aturan konstitusi yang merupakan amanat reformasi,” katanya.
Ia menjelaskan, terdapat dua poin utama reformasi kepolisian yang tertuang dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen awal reformasi serta TAP MPR Nomor VII Tahun 2000.
Pertama, Polri ditempatkan langsung di bawah Presiden dengan tanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban melalui fungsi perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat, serta penegakan hukum.
“Sedangkan poin kedua adalah pengangkatan Kapolri merupakan wewenang Presiden dengan persetujuan DPR,” imbuhnya.
Baca Juga: Kemenhut Izinkan Warga Manfaatkan Kayu Hanyut Pascabanjir di Aceh hingga Sumbar
Menurut Habiburokhman, kedua ketentuan tersebut menjadi koreksi atas praktik pada masa Orde Baru yang menempatkan kepolisian sebagai instrumen represif kekuasaan, sekaligus memperkuat mekanisme check and balance antara eksekutif dan legislatif.
Meski demikian, ia menilai terdapat persoalan mendasar karena KUHAP lama sebagai landasan utama kerja Polri tidak mengalami perubahan meski reformasi telah berjalan hampir tiga dekade.
“Undang-Undang Polri yang dibentuk tahun 2002 pun belum mengatur secara maksimal dua poin amanat reformasi. Situasi ini jelas menyulitkan Polri untuk mereformasi diri,” ucapnya.
Karena itu, Habiburokhman menyambut baik disahkannya KUHAP baru yang telah disetujui DPR dan ditandatangani Presiden Prabowo Subianto untuk mulai berlaku tahun depan.
“Alhamdulillah dengan kerja sama yang baik antara DPR dan Presiden, akhirnya kita akan memberlakukan KUHAP baru yang sangat reformis,” katanya.
Ia meyakini penerapan KUHAP baru menjadi pintu awal reformasi kepolisian melalui jalur konstitusional. Sejalan dengan itu, Komisi III DPR RI juga akan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Hal lain yang akan menjadi poin revisi Undang-Undang Polri adalah pembaruan soal usia pensiun yang disesuaikan dengan pengaturan serupa di Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang TNI,” ujar Habiburokhman.
“Secara umum, Komisi III akan mengeluarkan rekomendasi soal percepatan reformasi Polri berdasarkan masukan masyarakat,” pungkasnya. (Antara)