Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dan anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI Abidin Fikri. (ANTARA/HO-DPR)
Matamata.com - Komisi VIII DPR RI bersama pemerintah tengah menyiapkan langkah strategis untuk merevisi dua undang-undang penting terkait penyelenggaraan ibadah haji.
Revisi ini mencakup Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji, sebagai upaya adaptasi terhadap kebijakan terbaru Pemerintah Arab Saudi.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI sekaligus anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Abidin Fikri, menyatakan bahwa revisi kedua undang-undang tersebut bersifat sinergis dan mendesak.
Salah satu dorongan utama adalah larangan masuknya visa non haji ke wilayah kota suci yang diberlakukan otoritas Arab Saudi tahun ini.
“Dua undang-undang ini akan diubah secara sinergis. Kami perlu mendalami lebih jauh agar revisi yang dilakukan bisa menyesuaikan dengan kebijakan terbaru dari Arab Saudi, termasuk soal visa non haji yang kini dilarang masuk ke kota suci,” ujar Abidin dalam keterangannya, Senin (9/6).
Ia menyoroti sejumlah kasus deportasi dan penahanan jamaah asal Indonesia akibat penggunaan visa yang tidak sesuai. Menurutnya, hal ini menunjukkan perlunya regulasi domestik yang lebih adaptif dan terstruktur agar mampu merespons dinamika di negara tujuan.
“Ke depan, kita perlu memastikan bahwa regulasi dan kemampuan kita mampu menjawab perubahan yang dilakukan Arab Saudi,” tambahnya.
Selain aspek regulasi perjalanan, Abidin juga menekankan pentingnya reformasi dalam pengelolaan keuangan haji. Ia mendorong agar Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mengembangkan skema investasi yang secara langsung mendukung ekosistem haji, termasuk layanan perhotelan, transportasi, dan konsumsi.
“Ekosistem haji itu mencakup layanan perhotelan, transportasi, hingga konsumsi. Itu semua harus jadi sasaran investasi yang dikelola secara profesional dan syar’i. Jangan sampai dana setoran jamaah tidak memberi manfaat optimal,” tegasnya.
Abidin menambahkan bahwa seluruh pengelolaan dana haji harus memenuhi prinsip-prinsip syariat Islam dan menghindari praktik riba serta investasi yang tidak halal.
Baca Juga: BMKG Imbau Pelayaran Waspadai Gelombang Tinggi di Perairan Sabang-Banda Aceh
Ia menegaskan bahwa aspek efisiensi dan kebermanfaatan harus sejalan dengan prinsip amanah dan keberkahan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
“Ini bukan hanya soal efisiensi dan manfaat, tapi juga soal amanah dan keberkahan dalam penyelenggaraan ibadah haji,” pungkasnya.
Revisi kedua undang-undang tersebut diharapkan dapat memperkuat kelembagaan, memperbaiki tata kelola, serta memberikan perlindungan lebih baik kepada jamaah di tengah perubahan kebijakan internasional yang terus berkembang. (Antara)