Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno (kiri) dalam forum Asia Climate Solutions Pavilion yang diselenggarakan oleh Swaniti Initiative di sela-sela Conference of the Parties (COP30) UNFCCC di Belem, Brazil. (ANTARA/HO-MPR RI)
Matamata.com - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Eddy Soeparno menegaskan bahwa Indonesia siap memimpin aksi iklim di Asia melalui transisi energi bersih, tata kelola karbon yang transparan, dan investasi berkelanjutan.
Dalam forum Asia Climate Solutions Pavilion yang diselenggarakan Swaniti Initiative di sela-sela Conference of the Parties (COP30) UNFCCC di Belem, Brazil, ia menyampaikan bahwa Indonesia berada pada posisi strategis untuk menjadi pusat solusi iklim global.
“Kita memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, seperti hutan, gambut, dan mangrove yang mampu menyerap miliaran ton CO,” ujar Eddy dalam keterangannya yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Jika dikelola dengan baik, lanjut dia, potensi tersebut dapat menjadi landasan bagi ekonomi karbon yang berkeadilan.
Eddy menjelaskan bahwa visi Presiden RI Prabowo Subianto menempatkan transisi energi sebagai inti strategi pembangunan nasional.
Menurut dia, visi Prabowo sangat jelas, yaitu mencapai kedaulatan energi, mempercepat pemanfaatan 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade, serta meraih nol emisi bersih atau net-zero emission pada 2050 tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia juga menyoroti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 sebagai tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia.
Disebutkan bahwa RUPTL hijau tersebut akan menambah 53 gigawatt kapasitas energi dari sumber terbarukan, mulai dari surya, hidro, panas bumi, angin, hingga penyimpanan baterai.
“Implementasinya akan menciptakan lebih dari 1,7 juta lapangan kerja hijau dan menyumbang hingga 0,7 persen pertumbuhan PDB per tahun,” tuturnya.
Ia menekankan bahwa selain transisi energi, Indonesia juga memiliki target penurunan emisi CO sebagai bagian dari aksi penanganan iklim yang akan menghasilkan peluang ekonomi karbon yang besar.
Baca Juga: Kedewasaan Musikal Naura Ayu dalam Single 'Lampu Jalan'
Selama ini, katanya, koordinasi lintas kementerian kerap menjadi hambatan di sektor ekonomi karbon. Melalui Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), Indonesia akhirnya memiliki payung kebijakan yang menyatukan tata kelola karbon nasional.
“Ini langkah besar menuju efisiensi dan kepastian investasi,” kata Eddy.
Di sisi lain, Eddy menegaskan peran strategis parlemen dalam menjaga keberlanjutan kebijakan. MPR RI berkomitmen memastikan seluruh legislasi terkait energi dan iklim selaras dengan RPJMN dan visi Net Zero 2060.
MPR RI juga terus memperkuat sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil agar pelaksanaan kebijakan benar-benar inklusif dan transparan.
Sementara itu, ia juga menyoroti peran aktor non-negara dalam mendukung transisi rendah karbon, terutama di negara-negara Global South.
Disebutkan bahwa dunia kini menyaksikan transformasi besar, yakni dari sekadar advokasi menjadi kolaborasi nyata.
Ia menilai filantropi, lembaga keuangan, dan pelaku industri sekarang bergerak bersama mendorong inovasi dan pembiayaan transisi energi yang lebih berkeadilan.
Ia juga menambahkan bahwa Indonesia terus membangun reputasi di pasar karbon global melalui pengakuan standar internasional seperti Gold Standard, Verra, Plan Vivo, dan GCC.
Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional, Indonesia kini memiliki dasar hukum yang membuat pengakuan global menjadi lebih mudah dan efisien.
“Ini menunjukkan bahwa kita bukan hanya mengikuti pasar, tetapi turut membentuknya,” ucapnya menambahkan.
Pria yang juga merupakan anggota Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu berharap ada langkah konkret yang akan diambil Indonesia dalam 18 bulan ke depan.
Menurut dia, Indonesia harus berani mengambil langkah cepat dengan mempercepat elektrifikasi nasional karena hal tersebut bukan hanya menyangkut emisi, tetapi juga tentang membuka lapangan kerja baru, meningkatkan daya saing industri, dan memperkuat kedaulatan energi nasional.
Selain itu, ia menyebut Indonesia perlu memperdalam kerja sama energi di kawasan ASEAN. Melalui integrasi ASEAN Power Grid dan kolaborasi investasi hijau, Indonesia dinilai dapat menjadi penggerak utama transisi energi di Asia Tenggara.
“Dengan begitu, kita tidak hanya menjembatani ambisi global dan implementasi lokal, tetapi juga menunjukkan kepemimpinan nyata Indonesia di panggung iklim dunia,” kata Eddy. (Antara)