Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip (kiri), Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede (tengah), dan Tenaga Ahli Utama Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Lutfi Ridho (kanan) dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis (13/11/2025) (ANTARA/Bayu Saputra)
Matamata.com - Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menilai kebijakan ekonomi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang populer disebut “Purbaya Effect”, mulai menunjukkan hasil positif terhadap perekonomian nasional.
Menurutnya, dampak tersebut tercermin dari lonjakan penyaluran kredit kepada badan usaha milik negara (BUMN) yang meningkat tajam hingga 10,04 persen pada September 2025. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Agustus 2025 yang hanya tumbuh 1,9 persen.
“Kenapa saya bilang ini Purbaya Effect sudah bekerja? Karena sebagian besar sumber pertumbuhan kredit perbankan itu masih kepada debitur BUMN. Dari (pertumbuhan) 1,9 persen (Agustus 2025) menjadi 10,04 persen (September 2025),” kata Sunarsip dalam diskusi di Jakarta, Kamis.
Selain ke BUMN, penyaluran kredit ke sektor swasta juga mengalami kenaikan meski tipis, yakni dari 11,07 persen menjadi 11,12 persen pada periode yang sama.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya menempatkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank-bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Langkah ini dimaksudkan untuk memperkuat likuiditas perbankan sekaligus menjadi stimulus guna mempercepat penyaluran kredit ke sektor riil.
Secara keseluruhan, pertumbuhan kredit perbankan pada September 2025 tercatat 7,7 persen (year-on-year), sedikit naik dibandingkan 7,56 persen pada Agustus 2025.
“Tapi saya berharapnya bisa lebih. Lebihnya itu tidak hanya pada level korporat BUMN, tapi ke swasta. Karena Pak Purbaya kan selalu bilang, dia ingin mentransmisikan fiskal menjadi katalis pertumbuhan untuk swasta. Karena bagaimanapun kita butuh swasta. Kredit terbesar kan dari swasta, bukan BUMN,” tambahnya.
Sunarsip memperkirakan, tanpa adanya kebijakan tersebut, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III 2025 kemungkinan tidak akan mencapai 5,04 persen.
“Bayangkan, dari 1,9 persen tumbuh menjadi 10,04 persen. Mungkin kalau tanpa ini enggak bisa kita (ekonomi tumbuh) 5,04 persen,” ujarnya.
Meski demikian, Sunarsip menilai pertumbuhan ekonomi saat ini masih belum sepenuhnya ditopang oleh peningkatan konsumsi masyarakat. Ia menyarankan agar pemerintah mulai menggeser fokus kebijakan dari sisi permintaan (demand) ke sisi pasokan (supply) sektoral.
Baca Juga: Kemlu Fasilitasi Pemulangan 300 WNI Rentan dari Detensi Imigrasi Johor Bahru
“Kalau saya, lebih baik perbaiki sisi supply-nya, bukan demand,” ucapnya.
Menurutnya, stagnasi konsumsi rumah tangga di bawah lima persen dipicu oleh belum pulihnya sejumlah sektor industri pascapandemi COVID-19.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Lutfi Ridho menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan memperkuat kepercayaan publik terhadap prospek pendapatan.
“Mereka harus yakin terutama keyakinan pendapatan di masa yang akan datang,” kata Lutfi.
Ia menambahkan, DEN akan memfokuskan langkah pada peningkatan optimisme dan stabilitas pendapatan masyarakat. Jika kepercayaan tersebut terbentuk, konsumsi rumah tangga diyakini akan kembali menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi, meskipun investasi tetap akan menjadi pendorong utama pada tahun mendatang. (Antara)