Presiden Prabowo Subianto (kanan) saat melantik lima menteri baru di Kabinet Merah Putih, bertempat di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/9/2025). ANTARA/Andi Firdaus/aa.
Matamata.com - Pakar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Tunjung Sulaksono, menilai menteri baru hasil reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto harus berhati-hati dalam berkomunikasi agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
"Kemampuan komunikasi politik dan public speaking harus terus ditingkatkan," ujar Tunjung Sulaksono dalam keterangannya di Yogyakarta, Selasa (10/9).
Ia menjelaskan, pergantian lima menteri dalam kabinet merupakan langkah strategis pemerintah untuk merespons ketidakpuasan publik, termasuk tekanan dari gerakan "17+8" yang menuntut transparansi dan perbaikan kinerja.
Menurutnya, para menteri baru tidak hanya dituntut untuk bekerja optimal, tetapi juga segera mengambil langkah nyata yang bisa dirasakan masyarakat.
"Menteri baru harus segera menyelesaikan berbagai persoalan yang menjadi penyebab kemarahan publik," tegas Tunjung.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya program-program quick wins pada 100 hari pertama masa jabatan, terutama di sektor ekonomi dan ketenagakerjaan.
Dari perspektif ilmu pemerintahan, Tunjung menyebut ada tiga alasan utama reshuffle dilakukan, yakni faktor kinerja, politis, dan yuridis.
Pertama, menteri diganti karena kinerjanya dinilai belum maksimal, terutama di sektor strategis. Kedua, reshuffle dilakukan sebagai respons politis untuk meredam ketegangan akibat kontroversi maupun ketidakpuasan publik. Ketiga, faktor yuridis, termasuk kasus hukum yang menjerat pejabat sebelumnya, turut mempengaruhi keputusan Presiden.
"Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, sendiri menyatakan salah satu pertimbangan perombakan kabinet adalah gejolak demonstrasi akhir Agustus 2025 lalu," jelas Tunjung. (Antara)
Baca Juga: Bintangi Film 'Yakin Nikah', Enzy Storia Gunakan Metode Musik