Suasana lanskap kota yang diselimuti polusi udara di Jakarta, Rabu (25/6/2025). Kementerian Lingkungan Hidup mencatat sejumlah penyebab pencemaran udara di Jabodetabek yaitu sebesar 42-57 persen dari emisi kendaraan bermotor, 14 persen dari emisi industri dengan bahan bakar batu bara, dan 9 persen dari pembakaran sampah terbuka ilegal, sehingga memerlukan pengawasan ketat dari pemerintah daerah untuk mengatasi masalah pencemaran udara tersebut. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nym.
Matamata.com - Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa paparan polusi udara, baik di dalam maupun luar ruangan, memberikan dampak serius terhadap kesehatan manusia di semua kelompok usia.
"Saat ini pemantauan data yang dapat mewakili penyakit gangguan pernapasan akibat kualitas udara buruk adalah data penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu (30/7).
Aji menyebut, perempuan hamil yang terpapar polusi udara berisiko melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), mengalami gangguan pertumbuhan janin, hingga melahirkan prematur atau lahir mati. Bayi juga berisiko mengalami cacat tabung saraf serta gangguan pertumbuhan antropometri.
Sementara itu, pada anak-anak dan remaja, paparan polusi bisa menyebabkan ISPA, asma, penyakit paru, penyakit kardiovaskular, hingga resistensi insulin. Sedangkan kelompok lansia rentan mengalami stroke, kerusakan DNA, bronkitis kronis, hingga gangguan paru akibat polusi udara.
Aji menjelaskan, polusi udara dalam ruangan umumnya bersumber dari asap rokok, kompor kayu bakar, dan produk rumah tangga, sementara di luar ruangan disebabkan oleh asap kendaraan bermotor, proses industri, serta kebakaran hutan.
Berdasarkan analisis data PM2.5, kualitas udara di DKI Jakarta sejak 2022 hingga 2025 cenderung berada di atas ambang batas yang ditetapkan, yakni 25 mikrogram per meter kubik. Tren ini sejalan dengan peningkatan kasus ISPA.
Konsentrasi PM2.5 tertinggi tercatat pada Juni 2025 sebesar 46,6 mikrogram per meter kubik, sedangkan terendah pada Maret sebesar 22,6 mikrogram per meter kubik. Sebaliknya, jumlah kasus ISPA tertinggi justru terjadi pada Maret 2025 dengan 293.852 kasus, dan terendah pada Juni sebanyak 172.206 kasus.
Melihat kondisi ini, Kemenkes mengimbau masyarakat untuk rutin memantau kualitas udara melalui aplikasi, menggunakan alat penjernih udara, serta menjauhi sumber polusi termasuk asap rokok. Selain itu, masyarakat juga disarankan untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan, memakai masker, dan menerapkan pola hidup sehat.
Di sisi lain, data dari situs IQAir pada Rabu pukul 12.15 WIB mencatat kualitas udara di Jakarta berada pada angka 63 dengan konsentrasi PM2.5 sebesar 15,9 mikrogram per meter kubik—angka ini 3,2 kali lebih tinggi dari ambang batas tahunan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Partikel PM2.5 sendiri merupakan partikel halus berukuran kurang dari 2,5 mikron, yang umumnya berasal dari asap, jelaga, dan debu. Paparan jangka panjang terhadap partikel ini dapat meningkatkan risiko kematian dini, terutama pada penderita penyakit jantung dan paru-paru.
Baca Juga: Pemerintah Imbau Warga Jauhi Pantai, Antisipasi Tsunami Dampak Gempa Rusia
Dalam pemantauan IQAir, Jakarta juga tercatat menempati peringkat ke-59 dalam daftar kota besar dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia pada waktu yang sama. (Antara)