Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN) Ossy Dermawan menjawab pertanyaan dari awak media di Jakarta. (ANTARA/Aji Cakti)
Matamata.com - Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN) Ossy Dermawan mendorong jajaran TNI, khususnya TNI Angkatan Darat, untuk segera menuntaskan sertifikasi aset tanah demi memastikan perlindungan hukum terhadap properti militer.
"Kami mengajak para komandan satuan, terutama satuan wilayah, untuk mempercepat proses sertifikasi agar aset-aset yang dimiliki dapat diamankan," ujar Ossy dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Seruan ini disampaikan menindaklanjuti data Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI yang mencatat adanya 527 kasus pertanahan di sektor pertahanan hingga Desember 2024. Sebagian besar persoalan muncul akibat aset yang belum memiliki sertifikat.
"Paling tidak, aset-aset yang sudah clean and clear segera kita pastikan legalitasnya," kata Ossy.
Ia menekankan pentingnya satuan di wilayah untuk segera berkoordinasi dengan kantor pertanahan maupun kantor wilayah BPN jika masih ada aset yang status sertifikasinya belum tuntas.
Selain masalah aset belum bersertifikat, Ossy mengurai tiga persoalan lain yang kerap muncul. Pertama, sengketa atau klaim ganda akibat batas wilayah yang tidak jelas atau dokumen lama yang hilang.
Kedua, alih fungsi aset yang tidak sesuai, seperti berubah menjadi fasilitas komersial atau lahan garapan melalui bentuk kerja sama tertentu.
“Perubahan ini tentunya dapat menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari,” kata Ossy.
Masalah ketiga menyangkut dokumen historis yang hilang atau tidak lengkap. Banyak aset pertahanan merupakan peninggalan masa kolonial atau awal kemerdekaan, sehingga dokumen pengalihan hak maupun dasar hukumnya sudah tidak utuh atau belum tercatat dalam sistem administrasi modern. Kondisi ini membuat proses sertifikasi kerap terhambat karena bukti autentik kepemilikan negara sulit ditemukan.
Ossy menilai persoalan ini merupakan dampak dari berbagai faktor struktural, mulai dari jejak sejarah yang panjang, ketidakterpaduan data administrasi, hingga minimnya sinkronisasi lintas instansi.
Baca Juga: Pemerintah Genjot Produksi Protein untuk Sukseskan Program Makanan Bergizi Gratis 2026
“Ini yang menjadi PR kita bersama, dan Bapak Menteri berkomitmen untuk menyelesaikan simpang siur data antar instansi ini,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa keterlambatan penyelesaian masalah pertanahan dapat menimbulkan sejumlah risiko. Dari sisi hukum, negara dapat kehilangan hak atas tanah pertahanan karena tidak memiliki bukti kepemilikan sah.
Dari sisi pertahanan, beberapa fasilitas seperti area latihan menjadi rentan karena berbatasan langsung dengan permukiman.
Dari perspektif sosial, potensi gesekan dengan masyarakat semakin besar jika lahan militer dianggap sebagai tanah bebas. Sementara dari sisi tata kelola, aset negara berpotensi disalahgunakan dan tidak termanfaatkan secara optimal.
“Sehingga kita berharap, Bapak-bapak sekalian, tugas kita bukan mencari siapa yang salah atau benar, tetapi memastikan bahwa tanah pertahanan negara tidak lagi mengambang status hukumnya. Ini menjadi komitmen kami di Kementerian ATR/BPN untuk mendukung TNI, khususnya TNI Angkatan Darat,” kata Ossy. (Antara)