Tangkapan layar - Pemohon Perkara Nomor 118/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi larangan wakil menteri rangkap jabatan, A. Fahrur Rozi, mengikuti sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/7/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)
Matamata.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang uji materi atas praktik rangkap jabatan wakil menteri (wamen) sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dinilai berpotensi menabrak prinsip kepastian hukum.
Sidang perdana perkara Nomor 118/PUU-XXIII/2025 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini digelar di Gedung MK, Jakarta. Aktivis hukum A. Fahrur Rozi hadir langsung di ruang sidang, sementara pemohon lainnya, pendiri Pinter Hukum Ilhan Fariduz Zaman, mengikuti jalannya persidangan secara daring.
Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara serta Pasal 27B dan Pasal 56B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang perubahan atas UU BUMN.
Fahrur mengungkapkan keresahannya atas praktik rangkap jabatan tersebut. Ia menyoroti setidaknya ada 30 wakil menteri yang merangkap sebagai komisaris di BUMN.
“Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara itu tidak menyebutkan adanya frasa wakil menteri secara eksplisit, sedangkan Pasal 27B dan Pasal 56B [UU BUMN] itu tidak memberikan kualifikasi yang rigid jabatan apa saja yang menjadi objek larangan rangkap jabatan,” ujar Fahrur.
Pasal 23 UU Kementerian Negara secara tegas melarang menteri merangkap jabatan, namun tidak secara eksplisit menyebut wakil menteri. Hal ini menurut para pemohon menyebabkan ketidakpastian hukum dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Untuk itu, para pemohon meminta MK memberikan interpretasi leksikal dengan menambahkan frasa “wakil menteri” dalam Pasal 23, sejalan dengan Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menyatakan larangan rangkap jabatan bagi menteri berlaku pula untuk wakil menteri.
Selain itu, Fahrur dan Ilhan juga menggugat Pasal 27B dan 56B UU BUMN yang mengatur larangan rangkap jabatan bagi dewan komisaris dan dewan pengawas, karena dinilai tidak tegas membatasi jabatan mana saja yang boleh atau tidak boleh dirangkap.
Mereka membandingkan dengan Pasal 15B dan 43D UU BUMN yang secara jelas melarang dewan direksi merangkap jabatan struktural dan fungsional, termasuk jabatan politik, demi menghindari konflik kepentingan.
Menurut para pemohon, ketidaksamaan aturan antara dewan komisaris/pengawas dan dewan direksi membuka celah benturan kepentingan, karena tidak ada larangan bagi komisaris dan pengawas untuk merangkap sebagai pejabat publik maupun pengurus partai politik.
Baca Juga: RI Incar Posisi Eksportir Utama CPO ke Kanada, Bahas Kerja Sama Peternakan dan Teknologi Pertanian
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar pemohon memperkuat argumen konstitusionalnya, terutama dalam pengujian Pasal 23 UU Kementerian Negara.
“Di mana letaknya kalau saudara mengatakan ini tidak ada jaminan, misalnya, kepastian hukum atau apa, terserah, saudara harus bangun sendiri. Kalau perlu Anda buat komparasi dengan negara lain yang sistemnya presidensial juga,” ujar Enny.
Sementara itu, Enny belum memberikan masukan terhadap pengujian Pasal 27B dan 56B UU BUMN karena aturan tersebut masih dalam proses uji formil.
“Undang-Undang BUMN itu sedang dalam proses uji formil, saya tidak memberikan banyak hal di situ, menunggu sampai selesai uji formilnya itu,” tuturnya. (Antara)