Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menemui Menteri Perdagangan Amerika Serikat (AS) Howard Lutnick dan Ketua Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) Jamieson Greer guna membahas kelanjutan negosiasi tarif, Jakarta, Kamis (10/7/2025). ANTARA/HO-Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Matamata.com - Penetapan tarif dagang sebesar 19 persen oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah produk asal Indonesia dinilai sebagai momentum strategis bagi pemerintah untuk mempercepat transisi menuju energi baru terbarukan (EBT).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan kebijakan tersebut sekaligus menjadi sinyal bahwa Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, terutama di tengah tekanan defisit minyak dan gas (migas) yang terus melebar.
“Dengan outlook pelebaran defisit migas, sudah saatnya Indonesia mempercepat transisi dari ketergantungan fosil,” ujar Bhima saat dihubungi dari Jakarta, Rabu.
Bhima menyoroti dampak ekonomi dari defisit migas yang bisa menekan nilai tukar rupiah dan berpotensi membengkakkan anggaran subsidi energi dalam RAPBN 2026. Menurutnya, alokasi subsidi energi yang diajukan pemerintah sebesar Rp203,4 triliun belum mencukupi.
“Setidaknya butuh Rp300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa komitmen pembelian energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS berisiko membuat Indonesia harus membeli minyak dengan harga lebih tinggi dari harga pasar.
“Kalau Indonesia disuruh beli produk minyak dan LPG tapi harganya di atas harga yang biasa dibeli Pertamina, repot juga. Ini momentum semua program transisi energi harus jalan agar defisit migas bisa ditekan,” ucap Bhima.
Di sisi lain, Bhima menilai kebijakan tarif tersebut juga seharusnya mendorong Indonesia untuk memperluas pasar ekspor, khususnya ke kawasan Eropa dan Asia Tenggara. Ia menyambut baik pengesahan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) yang telah melalui negosiasi selama satu dekade.
“Pemerintah sebaiknya mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar pasca IEU-CEPA disahkan. Begitu juga dengan pasar intra-ASEAN bisa didorong. Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia,” tegas Bhima. (Antara)
Baca Juga: Indonesia Puncaki Grup B Usai Dua Kemenangan Telak di Piala Davis