Ilustrasi - Suasana tugu Monas yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp/am.
Matamata.com - Kualitas udara di Jakarta kembali jadi sorotan. Pada Jumat pagi, ibu kota menempati peringkat ketiga sebagai kota dengan udara terburuk di dunia, menurut pemantauan situs IQAir.
Berdasarkan data pada pukul 05.47 WIB, Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index/AQI) di Jakarta mencapai angka 159. Nilai ini menempatkan Jakarta dalam kategori "tidak sehat", dengan tingkat konsentrasi polutan PM2.5 mencapai 67,2 mikrogram per meter kubik.
Angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas udara di Jakarta dapat membahayakan kelompok sensitif, termasuk manusia, hewan tertentu, serta memengaruhi tumbuhan dan estetika lingkungan.
Masyarakat diimbau untuk membatasi aktivitas di luar ruangan, menggunakan masker bila terpaksa keluar, dan menutup jendela guna mengurangi paparan udara kotor dari luar.
Sebagai perbandingan, kategori kualitas udara dibagi menjadi beberapa level:
Baik (0–50 PM2.5): tidak berisiko bagi kesehatan.
Sedang (51–100): tidak berdampak bagi manusia, namun bisa memengaruhi tumbuhan sensitif.
Tidak sehat (101–200): berisiko bagi kelompok rentan.
Sangat tidak sehat (201–299): berpotensi membahayakan sejumlah segmen populasi.
Berbahaya (300–500): dapat memicu dampak serius pada kesehatan.
Adapun dua kota dengan kualitas udara lebih buruk dari Jakarta adalah Kuwait City (AQI 184) dan Kinshasa, Kongo (AQI 160). Di bawah Jakarta, terdapat Lahore, Pakistan (AQI 155) dan Santiago, Chile (AQI 119).
Sebagai langkah pemantauan dan transparansi data, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta telah meluncurkan platform pemantau kualitas udara yang mengintegrasikan data dari 31 Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) di seluruh Jakarta.
Platform ini menggabungkan data dari DLH DKI Jakarta, BMKG, World Resources Institute (WRI) Indonesia, serta Vital Strategies, dan dirancang sesuai standar pemantauan nasional. (Antara)