Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan paparan pada forum 1 Tahun Prabowo-Gibran: Optimism on 8% Economic Growth di Jakarta, Kamis (16/10/2025). Acara tersebut sebagai wadah diskusi strategis untuk menelaah capaian, tantangan, dan langkah konkret menuju target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029 sesuai yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.
Matamata.com - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti perbedaan arah kebijakan ekonomi antara pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Dalam acara “1 Tahun Prabowo-Gibran: Optimism 8% Economic Growth” di Jakarta, Kamis (17/10), Purbaya menyebut, meskipun pembangunan pada era SBY tidak seagresif era Jokowi, pertumbuhan ekonomi kala itu mampu menembus angka 6 persen. Sementara pada masa Jokowi, rata-rata pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5 persen.
Menurutnya, perbedaan capaian itu terjadi karena sumber penggerak ekonomi yang berbeda. “Kalau Pak Jokowi fokus pada belanja pemerintah, sementara Pak SBY lebih banyak mengandalkan sektor swasta,” ujar Purbaya.
Ia menegaskan, melalui jabatannya saat ini, dirinya berupaya menggabungkan dua pendekatan tersebut. Dengan mendorong peran pemerintah dan sektor swasta secara bersamaan, Purbaya menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa kembali mencapai 6 persen.
Lebih lanjut, Purbaya menyinggung tekanan ekonomi yang terjadi antara April hingga Agustus 2025, terutama di sektor riil. Ia menilai gelombang demonstrasi besar pada akhir Agustus lalu lebih disebabkan oleh faktor ekonomi ketimbang instabilitas politik.
“Rakyat langsung merasakan tekanan di perekonomian. Kalau sudah kesal, mereka turun ke jalan. Jadi itu bukan protes karena politiknya kacau, tetapi karena ekonomi mereka susah. Kalau nggak cepat diperbaiki, nggak akan berhenti demonya dan kita akan susah terus ke depan,” kata Purbaya.
Sebagai langkah antisipasi, ia memutuskan untuk menempatkan dana pemerintah atau Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp200 triliun pada bank-bank milik negara (Himbara). Dana tersebut diharapkan mampu meningkatkan penyaluran kredit ke sektor riil dan mendorong perputaran ekonomi.
Purbaya menyebut, dampak dari kebijakan itu mulai terlihat dari pertumbuhan uang beredar (M0) yang naik hingga 13,2 persen. “Artinya apa? Gelontoran uang saya (pemerintah) sudah menambah likuiditas di sistem finansial kita secara signifikan. Saya akan monitor itu dari bulan ke bulan seperti apa. Kalau kurang, saya tambah lagi,” tuturnya. (Antara)