Arsip foto - Presiden Prabowo Subianto (kedua kiri) bersama Perdana Menteri China Li Qiang (kanan) melakukan inspeksi barisan saat upacara kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (25/5/2025). Kunjungan kenegaraan PM China Li Qiang di Istana Kepresidenan Jakarta tersebut untuk mempererat dan meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan China serta memperkuat kerja sama di berbagai bidang strategis kedua negara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/mrh/tom.
Matamata.com - Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan pentingnya kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok difokuskan pada percepatan transisi energi, penguatan ekonomi hijau, serta menghadapi tantangan perubahan iklim global.
Penegasan ini disampaikan Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam forum High-Level Dialogue: Advancing Indonesia-China Cooperation on Clean Energy and Green Development di Beijing, Selasa.
Menurut Fabby, baik Indonesia maupun Tiongkok sebagai dua negara dengan ekonomi dan tingkat emisi terbesar, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya dalam merespons perubahan iklim.
Kolaborasi kedua negara diharapkan mampu mendorong transformasi menuju energi hijau dan berkelanjutan.
China, sebagai pemimpin global dalam pengembangan energi terbarukan, dinilai dapat mendukung Indonesia melalui investasi di bidang infrastruktur, industri teknologi energi bersih, peningkatan kapasitas kelembagaan, serta membantu proses dekarbonisasi industri pengolahan mineral dan sektor hilirisasi tanah air.
Berdasarkan riset IESR, potensi teknis energi terbarukan Indonesia mencapai lebih dari 7.700 GW—dua kali lipat dibandingkan data pemerintah.
Energi surya menempati porsi terbesar, dan IESR menilai pengembangan besar-besaran energi matahari, bersamaan dengan penggunaan sistem penyimpanan energi dan modernisasi jaringan listrik, menjadi jalur dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan yang paling ekonomis dan efektif.
Meskipun Indonesia masih menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan energi yang kian meningkat serta menjaga pertumbuhan ekonomi, beberapa pihak masih meragukan kemampuan energi terbarukan, terutama surya dan angin, karena sifatnya yang tidak selalu stabil.
Namun, Fabby menyebutkan pengalaman negara seperti China, India, dan Australia membuktikan tantangan tersebut bisa diatasi dengan teknologi penyimpanan energi terbaru, seperti baterai lithium-ion, sodium-ion, hingga teknologi solid-state, serta hydro pumped storage dan penyimpanan hidrogen.
Fabby juga menyoroti peluang strategis dalam kemitraan Indonesia-Tiongkok untuk membangun ekosistem teknologi surya di tanah air.
Baca Juga: Demi Raja Ampat Tetap Lestari, Presiden Prabowo Cabut Izin Tambang di Kawasan Pariwisata Dunia
Ia mendorong inisiatif China-Indonesia Solar Partnership yang meliputi produksi teknologi sel dan modul surya generasi terbaru, elektrifikasi pulau-pulau dengan PLTS dan sistem penyimpanan energi untuk menggantikan PLTD, serta riset bersama untuk optimalisasi teknologi surya di iklim tropis.
Selain itu, inisiatif ini juga mengusulkan pembiayaan hijau untuk rantai pasok serta kerja sama pengurangan emisi karbon dan perdagangan karbon internasional dari proyek PLTS berskala besar.
“Kemitraan ini ideal bagi Indonesia dan Tiongkok. Selain memperkuat penguasaan teknologi surya Tiongkok, juga mendukung kebutuhan Indonesia mengembangkan industri hijau sebagai pendorong ekonomi masa depan. Diharapkan, kemitraan ini segera menjadi bagian dari agenda resmi antara kedua negara tahun ini,” ujar Fabby.
Sejalan dengan itu, Parulian Silalahi—Wakil Kepala Perwakilan RI di Beijing—menyebutkan bahwa transisi energi bukan hanya soal menurunkan emisi, tapi juga membuka banyak kesempatan kerja dan investasi baru.
Beberapa investor asing, seperti Trina Solar dari Tiongkok dan SEG Solar dari Amerika Serikat, sudah memulai pembangunan pabrik panel surya di Jawa Tengah.
Parulian menambahkan, kekuatan teknologi dan produksi energi terbarukan Tiongkok dapat membantu Indonesia membangun rantai pasok yang terintegrasi, sehingga akselerasi transisi energi tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, Zhang Jianyu, Direktur Eksekutif BRI Green Development Institute, menegaskan perlunya kolaborasi luas antar negara berkembang dalam mengatasi krisis iklim.
Perusahaan-perusahaan China seperti JA Solar, Trina Solar, dan Jinko Solar disebut punya kontribusi utama dalam penyediaan panel surya dan transfer keahlian teknis untuk mendukung arah transisi energi Indonesia. (Antara)