Menteri Kebudayaan Fadli Zon. ANTARA/ (Sinta Ambar)
Matamata.com - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menilai bahwa nuansa atau tone positif dalam penulisan sejarah Indonesia penting untuk menjaga persatuan bangsa. Menurutnya, penulisan sejarah yang bernuansa negatif justru dapat memicu perpecahan.
"Jadi, kita tentu tone-nya itu adalah dalam sejarah untuk mempersatukan kebenaran bangsa. Untuk apa kita menulis sejarah untuk memecah-belah bangsa," ujar Fadli saat menjawab pertanyaan wartawan di sela kegiatan di Jakarta, Jumat (6/6).
Ia menjelaskan bahwa maksud dari tone positif adalah tidak semata-mata mencari kesalahan di masa lalu.
"Di masa-masa itu pasti ada kelebihan dan kekurangan. Ini kan juga lebih banyak highlight, lebih banyak garis besar. Kita ingin menonjolkan pencapaian-pencapaian, prestasi-prestasi, prioritas-prioritas, dan juga peristiwa-peristiwa pada zaman itu," katanya.
Fadli juga menanggapi kekhawatiran sejumlah akademisi dan aktivis yang menilai proyek penulisan sejarah berpotensi melahirkan satu narasi tunggal yang dianggap paling benar. Menurutnya, kekhawatiran tersebut tidak beralasan karena proyek tersebut dikerjakan oleh para sejarawan dari berbagai kampus ternama di Indonesia.
"Jadi yang menulis bukan aktivis, bukan politikus. Yang menulis sejarawan. Mereka punya keahlian, bergelar doktor dan profesor di bidangnya. Jadi kita tidak perlu khawatir, mereka pasti memiliki kompetensi dalam menulis sejarah," kata Fadli.
Ia menambahkan, justru menjadi kekhawatiran tersendiri apabila proyek sejarah tersebut dikerjakan oleh aktivis yang memiliki perspektif masing-masing.
"Sejarah tidak bisa ditulis oleh politikus, apalagi yang resmi, atau semacam itu. Tidak bisa ditulis oleh, misalnya, pihak lain non-sejarawan. Tetapi kalau orang mau menulis sejarahnya sendiri-sendiri juga bebas, ini negeri demokrasi," lanjutnya.
Fadli menegaskan bahwa penulisan sejarah bangsa merupakan program prioritas sejak awal masa jabatannya. Ia menilai sudah terlalu lama tidak ada pembaruan dalam sejarah nasional.
"Sudah lebih dari 26 tahun kita tidak pernah menulis sejarah kita. Jadi kalau ada yang baru, ya banyak yang baru, karena memang tidak pernah ditulis. Belum lagi yang sifatnya penemuan-penemuan, updating. Contohnya, lukisan purba tertua di dunia sekarang ada di Indonesia. Itu tidak ada dalam sejarah kita," tuturnya.
Baca Juga: Stefan Willliam Puji Akting Denira Wiraguna di Sinetron 'Bukan Karena Tak Cinta'
Ia juga mencontohkan temuan baru mengenai masuknya Islam ke Indonesia, yang disebut terjadi pada abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah.
"Ini bisa memperbarui sejarah kita yang selama ini mengatakan Islam masuk itu abad ke-13. Itu beda 600 tahun sendiri. Belum lagi dari sisi zaman perlawanan kita terhadap Kolonial Belanda. Kita ingin perspektifnya menekankan sejarah perlawanan para pahlawan terhadap penjajah. Jadi bukan hanya sekadar dikatakan kita dijajah 350 tahun, tetapi kita ingin justru menonjolkan perspektif Indonesia-centric, perlawanan kita terhadap kolonial," ujar Fadli. (Antara)