Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI Adian Napitupulu ditemui usai menghadiri Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). (ANTARA/Melalusa Susthira K.)
Matamata.com - Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu, mendesak agar pembengkakan biaya dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) dikaji ulang secara menyeluruh untuk mencari penyebabnya sekaligus mencegah kejadian serupa di masa depan.
“Kalau menurut saya, memang seharusnya dikaji ulang bagaimana bisa terjadi pembengkakan biaya untuk kereta cepat itu,” ujar Adian dalam keterangannya di Jakarta, Senin (21/10).
Pernyataan tersebut disampaikan Adian sebagai tanggapan atas sikap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak penggunaan APBN untuk menutup utang proyek Kereta Cepat Whoosh.
Menurut Adian, penolakan tersebut perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, yaitu adanya dugaan pembengkakan biaya yang patut ditelusuri secara serius. Ia juga menyoroti bahwa proyek serupa di berbagai negara lain—baik yang menggunakan teknologi China maupun Jepang—bisa dijadikan bahan pembanding.
“Dibandingkan saja harganya, lalu diperiksa kenapa kita bisa lebih mahal. Bagaimana perjanjian awalnya, siapa yang melakukan negosiasi, dan sebagainya,” imbuhnya.
Legislator asal Jawa Barat V itu menilai, keputusan Menteri Keuangan menolak pelunasan utang menggunakan APBN tentu memiliki alasan, namun pemerintah tetap wajib melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan proyek.
Terkait rencana perpanjangan jalur Kereta Cepat hingga Jakarta–Surabaya, Adian menganggap ide tersebut positif, asalkan disertai dengan perencanaan dan pelaksanaan yang matang.
“Gagasan kereta cepat itu bagus. Problemnya, yang bagus tidak cuma di gagasan saja. Tapi bagaimana cara merealisasikannya juga harus bagus,” tegasnya.
Lebih lanjut, Adian menyoroti kecenderungan proyek besar di Indonesia yang sering kali mengalami pembengkakan biaya. Ia mengingatkan, bila proyek ini nantinya melibatkan dana APBN, pemerintah harus terlebih dahulu menjelaskan hasil evaluasi yang dilakukan.
“Kalau sampai menggunakan APBN, berarti ini kan mengkhianati janji awal. Maka yang harus dipikirkan, siapa yang melakukan negosiasi, berapa harga yang patut, dan apakah perjanjian itu dibuat dengan niat baik,” ujarnya.
Baca Juga: Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, 77 Ribu Keluarga Miskin Berhasil Mandiri Tanpa Bansos
Adian menegaskan, penilaian terhadap niat baik dalam proyek dapat dilihat dari kewajaran harga yang disepakati. Jika ditemukan bahwa perjanjian awal dibuat tanpa itikad baik, maka pemerintah memiliki dasar untuk meninjau atau menegosiasikan ulang kontrak tersebut.
“Kalau bisa dibuktikan perjanjian itu tidak dilakukan berdasarkan niat baik, ya bisa diminta dibatalkan atau dinegosiasikan ulang. Tapi masalahnya adalah kok biayanya bisa gede banget,” pungkasnya.