Para seniman mendalami Ilmu Cetak Litografi bersama DEVFTO Printmaking Institute (Instagram/artjog.id)
Matamata.com - Special Project membawa perhelatan ARTJOG 2025 ke dalam ruang yang lebih erat dan lekat. Ada tiga Special Project yang hadir, yaitu Murakabi Movement (Yogyakarta), ruangrupa (Jakarta), dan DEVFTO Printmaking Institute (Bali).
Meski hadir dalam presentasi yang berbeda, tiga Special Project ini diciptakan atas spirit yang sama, yaitu amalan yang menghubungkan pencipta dan penikmat seni. Begitu pula dengan DEVFTO.
Melalui perbincangan dengan Matamata.com (Suarajogja.id), Devy Ferdianto selaku Founder, Managing Director, sekaligus Master Printer--julukan bagi seniman yang terjun ke dunia seni cetak grafis--menuturkan bahwa keterlibatan DEVFTO dalam ARTJOG 2025 adalah sebuah kehormatan.
Tujuan keterlibatannya tidak utopis melainkan visioner, didasari pada minimnya apresiasi yang diberikan terhadap seni grafis dan seniman yang mengarungi dunia tersebut.
Secara sederhana, DEVFTO ingin melakukan aktivitas promosi dan tentu saja, kita tidak bisa menampik ARTJOG adalah wadah yang tepat untuk menjaga kobaran api semangat mereka, baik untuk tetap merasa hangat maupun memberi kehangatan kepada yang lain.
"Melalui kegiatan ARTJOG (2025) ini, kita bisa melakukan promosi terkait perkembangan seni cetak grafis (di Indonesia) agar semakin banyak yang mengapresiasi dan mendalami," tutur Devy kepada Matamata.com, Kamis, 28 Agustus 2025.
Sebagaimana mereka yang lain yang mengarungi dunia seni bahkan mendalami, keresahan itu selalu ada. Barangkali satu hal yang menghidupkan seniman di luar hal-hal yang lain adalah keresahan itu sendiri
Bagi DEVFTO, keresahan atas masa depan seni cetak grafis tidak terelakkan.
Bagaimana bila tak ada lagi yang mendalami?
Bagaimana bila tidak ada lagi yang mengapresiasi?
Akankah seni cetak grafis tetap bisa dihidupi?
Sebab seni, terutama sebagai suatu amalan, harus dihidupi agar tetap bertahan hidup.
Pertanyaan-pertanyaan yang kami lemparkan memang tidak secara gamblang mempertanyakan soal kepastian. Namun jawaban dari setiap pertanyaan, mengarahkan kami kepada kesadaran bahwa DEVFTO tengah menata masa depan, yaitu masa depan seni cetak grafis di tanah air.
Ada tiga poin yang kami pelajari dari DEVFTO tentang menata masa depan seni grafis, yang tidak bisa dipisahkan dari tiga unsur, yaitu (1) seniman, (2) non seniman, dan (3) kolektor.
Baca Juga: 7 Jam Berekspresi Tanpa Jeda, Reza Rahadian Eksplorasi Kejujuran Tubuh di ArtJog 2025
1. Fokus pada Proses, Bukan Gaya Visual
Bagi para seniman grafis, seni grafis adalah sumber kehidupan, baik untuk menghidupi jiwa maupun tubuh mereka. Hasil adalah tujuan, namun proses adalah yang paling berkesan.
DEVFTO mengungkap banyak kejutan yang mereka temui selama berproses dan menciptakan karya seni cetak grafis. Kejutan-kejutan tersebut yang kemudian memperkaya proses dan perkembangan seni cetak grafis.
Setidaknya ada empat teknik yang identik dengan proses kreatif DEVFTO, yaitu Teknik Cetak Tinggi, Teknik Cetak Dalam, Teknik Cetak Datar, dan Teknik Cetak Saring. Masing-masing teknik menawarkan proses yang berbeda satu sama lain.
Selain teknik, masing-masing seniman pun memiliki gaya visual yang membedakannya dengan seniman yang lain. Namun sekali lagi, baik teknik maupun gaya visual bukan lah keterbatasan.
Bila ingin bertahan, seni cetak grafis harus memiliki keterbukaan terhadap proses kreatif dan membiarkan hal dan keunikan baru datang menyempurnakan.
Misalnya saja, meski di luar cakupan biasanya, DEVFTO membuka diri, melakukan riset, dan mencoba proses kreatif bernama alternative photographic process.
Proses kreatif ini terbukti memberikan pengalaman berbeda yang dinikmati oleh para seniman, meski hasilnya tidak ditampilkan di dalam galeri.
2. Memperluas Advokasi Karya
Ketika kami memantik 'apakah benar bawah seni cetak grafis adalah seni yang mahal?', Devy Ferdianto menjawab dengan pertanyaan.
"Bila seni cetak grafis adalah seni yang mahal, dilihat dari mana?" ujar Devy.
Tidak membiarkan kami berangan-angan, Devy mencoba menjelaskan. Bila dilihat dari segi bahan yang sebagian besar impor, biaya produksi seni cetak grafis tidak jauh dari seni lukis.
Bahkan seni lukis cenderung mengeluarkan biaya yang lebih besar, yang bisa dimulai dari pembelian kanvas.
Kemudian dari segi apresiasi, seni cetak grafis tidak sepamor seni lukis di kalangan para kolektor. Melalui cerita pribadi DEVFTO, belum ditemukan kolektor khusus yang memang mengabdikan diri untuk mengapresiasi seni cetak grafis.
Fakta ini lah yang menarik menjadi pemantik untuk mengadvokasi lebih karya-karya seni cetak grafis, baik kepada penikmat seni, penikmati seni yang adalah kolektor, maupun kolektor yang menikmati seni.
Tentu saja, advokasi tersebut tetap mempertimbangkan aspek kebebasan bagi seniman seni cetak grafis untuk menentukan harga dari karya mereka masing-masing, tanpa merasa minder dari seni lukis.
3. Siapapun Bisa Dirangkul
Satu hal lain yang membekas dalam ingatan dari apa yang disampaikan Devy adalah tentang rangkul-merangkul. Seni cetak grafis tidak hanya diperuntukkan seniman cetak grafis.
Itu lah mengapa DEVFTO aktif mengadakan workshop, baik bagi masyarakat umum maupun para seniman.
Melalui ruang yang diadvokasikan oleh ARTJOG, DEVFTO berhasil menggelar workshop ilmu cetak litografi kepada masyarakat umum. Sukses dengan agenda tersebut, tiba giliran para seniman yang menjadi peserta workshop.
Pada Kamis, 28 Agustus 2025--tepat tiga hari sebelum penutupan ARTJOG 2025--, DEVFTO mengajak para seniman untuk mendalami seni cetak grafis secara langsung.
Mereka tidak hanya diperkenalkan soal teknik, namun sekaligus keyakinan bahwa seniman non cetak grafis pun bisa menikmati proses kreatif seni cetak grafis.
Bersama keresahan semakin sedikit seniman yang menggeluti seni cetak grafis, Devy bersam DEFVTO menata masa depan bahwa seni cetak grafis bukan hanya monopoli seniman cetak grafis.
"DEVFTO ini lebih banyak mengajak seniman-seniman di luar seni grafis untuk mencoba dengan harapan akan semakin banyak seniman yang non grafis juga mau berkarya lewat grafis karena (seni cetak) grafis itu bukan monopolinya penggrafis saja," tegas Devy Ferdianto.