Bespoke Project membawakan koleksi EMBODIMENT MALFUNCTION pada JF3 2025, Sabtu (2/8/2025) di Re-Crafted Hall, Summarecon Mall Serpong. (ist)
Matamata.com - Bespoke Project membawakan koleksi Embodiment Malfunction pada JF3 2025, Sabtu (2/8/2025) di Re-Crafted Hall, Summarecon Mall Serpong.
Dalam era post-human yang semakin kabur batas antara tubuh, teknologi, dan identitas, fashion tak lagi sekadar soal estetika. Koleksi ini lahir dari ketidakstabilan berpikir, sebuah pencarian visual dan konseptual atas ketidaksempurnaan yang justru menjadi sumber daya kreatif. Kita menyebutnya: Embodiment Malfunction.
Berangkat dari kejenuhan terhadap budaya populer yang terlalu datar dan seragam, kita bisa menggali kemungkinan-kemungkinan "unusual", hal-hal yang tak lazim, nyeleneh, bahkan absurd, untuk diangkat sebagai narasi utama. Setiap busana dalam runway ini bukan hanya pakaian, melainkan representasi dari keretakan antara realitas dan visualisasi yang glitching, distorted, dan penuh gangguan sistem.
Distorsi Siluet dan Material Rusak
Koleksi ini menampilkan bentuk-bentuk yang terdistorsi, material yang seolah rusak, glitching, atau bahkan menyatu dengan aksen eksternal yang seharusnya tidak ada.
Warna-warna yang bertabrakan, pola yang tidak biasa, dan tekstur yang mengganggu kenyamanan visual justru menjadi kekuatan utama.
Benturan Kelas dan Gaya Eksentrik
Di panggung fashion show yang biasanya identik dengan kemewahan dan kemapanan, kami hadirkan benturan antara gaya masyarakat atas dan ekspresi eksentrik yang tak terduga. Ini bukan sekadar provokasi, melainkan ajakan untuk melihat bahwa ketidaksempurnaan bisa menjadi karya.
Pakaian Sebagai Tubuh Kedua yang Malfungsi
Dalam narasi ini, pakaian menjadi tubuh kedua yang mengalami gangguan fungsi. Ia tidak lagi melindungi atau mempercantik, melainkan mengungkapkan pencarian identitas baru, baik organik maupun artifisial.
Baca Juga: Mengejutkan! Dahlia Poland dan Fandy Christian Jalani Sidang Cerai Perdana di PA Badung
Penikmat fashion diajak untuk membuka ruang interpretasi. Bahwa sesuatu yang kontradiktif, yang tidak masuk akal, yang rusak secara sistemik, bisa menjadi bentuk seni yang paling jujur. Karena di tengah budaya populer yang seragam, justru keretakanlah yang memberi ruang untuk makna baru.