JAFF Market Perlihatkan Potret Terkini Industri Film Indonesia di Busan bersama Cinepoint. [ist]
Matamata.com - Industri film Indonesia tengah memasuki babak transformasi penting.
Data terbaru menunjukkan adanya perubahan struktural dalam selera penonton.
Bila sebelum pandemi film impor mendominasi layar bioskop dengan angka penonton yang besar, kini justru film-film lokal berhasil merebut panggung utama.
Pergeseran ini tidak hanya menggambarkan kebangkitan kembali sinema nasional setelah masa sulit pandemi, tetapi juga menandai tumbuhnya loyalitas baru terhadap cerita-cerita Indonesia.
Momentum inilah yang menjadi sorotan JAFF Market, unit industri dari Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), yang hadir di Asian Contents & Film Market (ACFM) di Busan, Korea Selatan pada 20–23 September 2025 untuk mempertunjukkan potret terkini perfilman Indonesia ke kancah internasional.
Tahun ini JAFF Market menggandeng Cinepoint sebagai mitra resmi penyedia data dan memastikan hasil presentasi berbasis analisis mendalam dan terukur.
Cinepoint, sebagai satu-satunya platform data bioskop dan film yang terintegrasi di Indonesia, menyediakan data aktual mengenai jumlah penonton, tren genre, volume produksi, hingga ekspansi layar bioskop.
Data inilah yang menjadi fondasi analisis JAFF Market untuk menunjukkan bagaimana industri film nasional tengah bergerak menuju masa depan yang lebih mapan.
Dalam presentasinya kepada pelaku industri global, JAFF Market menyoroti perubahan signifikan dalam pola konsumsi penonton.
Pada periode 2016–2019, film-film impor masih mendominasi bioskop Tanah Air, dengan rata-rata 50 juta penonton hanya dari 10 judul teratas setiap tahun.
Baca Juga: Komisi III Desak KPK Segera Tetapkan Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji
Sebaliknya, film Indonesia berada pada posisi yang relatif stabil di kisaran 23 juta penonton.
Namun sejak 2022, peta ini berbalik. Top-10 film Indonesia kini mampu menggaet 30–40 juta penonton per tahun, melampaui film impor yang turun ke level 20–25 juta.
Pergeseran ini tidak hanya mencerminkan perubahan preferensi, tetapi juga menandai lahirnya kepercayaan baru terhadap cerita lokal yang makin beragam, tidak hanya horor dan drama, tetapi juga komedi dan animasi.
Drama tetap menjadi tulang punggung produksi nasional, mencerminkan kedekatan tema dengan keseharian masyarakat.
Namun dalam empat tahun terakhir, genre horor muncul sebagai kekuatan utama dengan lebih dari 50 judul dirilis tiap tahunnya, menawarkan pengalaman kolektif yang khas di bioskop.
Komedi pun tetap hadir dengan rata-rata 20 judul per tahun, sementara animasi mencetak tonggak baru di box office tanda bahwa penonton Indonesia mulai membuka diri terhadap ragam bentuk sinema.
“Keragaman tontonan yang diminati penonton mencerminkan semakin besarnya kepercayaan pada cerita Indonesia,” ujar Sekarini Seruni, Business Director JAFF Market. “Penonton tidak hanya kembali ke bioskop, tetapi juga merayakan keberanian sineas lokal menghadirkan drama, horor, komedi, hingga animasi. Momentum ini menegaskan vitalitas baru industri film Indonesia di tingkat global.”
Pertumbuhan jumlah layar bioskop turut menjadi penggerak vital industri. Hingga 2024, Indonesia telah memiliki lebih dari 2.200 layar, dengan proyeksi mencapai 2.700 layar pada 2030.
Ekspansi ini didorong oleh pertumbuhan GDP per kapita yang stabil, dominasi demografi muda, urbanisasi cepat, dan meningkatnya permintaan terhadap hiburan yang terjangkau terutama di kota-kota lapis kedua dan ketiga, di mana pembangunan mal mendorong kehadiran bioskop baru.
Meskipun platform streaming terus berkembang, menonton film di bioskop tetap menjadi bagian dari kebiasaan budaya yang kuat.
Genre seperti horor, komedi, dan event films (film berskala besar) yang menjadi magnet kolektif seperti film aksi, drama sejarah, atau adaptasi besar masih menemukan panggung utama di layar lebar.
Dengan lebih dari 126 juta tiket terjual pada 2024, Indonesia mencatat salah satu tingkat admisi tertinggi di kawasan Asia pascapandemi.
Namun, angka admisi per kapita masih berada di bawah 0,5, menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan jangka panjang masih sangat besar, terutama seiring dengan ekspansi infrastruktur dan meningkatnya akses publik terhadap bioskop.
“Bermitra dengan Cinepoint memungkinkan kami menghadirkan wawasan terintegrasi yang dapat langsung diterapkan oleh pelaku industri,” ujar Gundy Cahyadi, Head of Analytics JAFF Market.
“Tim analitik JAFF Market secara cermat menganalisis data terkait jumlah penonton bioskop, perluasan layar, volume produksi konten, serta pola perilaku penonton yang terus berkembang. Semua ini menjadi fondasi bagi pengambilan keputusan yang berbasis bukti nyata, real-time, dan relevan bagi produser, distributor, platform, maupun pembuat kebijakan.”
Hal senada disampaikan oleh Sigit Prabowo, Co-Founder & President Commissioner Cinepoint.
“JAFF Market adalah mitra yang tepat untuk mengubah data menjadi dampak nyata,” ujarnya.
“Kami bersama-sama membangun ekosistem berbasis bukti yang mendukung pengambilan keputusan yang lebih cermat dan pertumbuhan industri yang berkelanjutan dalam jangka panjang.”
Adapun temuan terbaru dari proyeksi JAFF Market dan Cinepoint menggarisbawahi beberapa tren kunci yang tengah berlangsung di industri:
Temuan-temuan ini akan menjadi bahasan utama dalam JAFF Market 2025, yang berlangsung pada 29 November – 1 Desember 2025 di Yogyakarta.
Memasuki edisi keduanya, JAFF Market 2025 Powered by Amar Bank kian mengukuhkan diri sebagai platform internasional yang mempertemukan ide, konten, dan peluang bisnis dalam ekosistem film Asia.
Lima program utama akan digelar.
JAFF Future Project menjadi ruang pengembangan proyek film potensial, sementara JAFF Content Market membuka pertemuan antara pemilik IP lintas format dan mitra industri.
Talent Day menghadirkan sesi pembinaan bagi kreator muda, sedangkan Film & Market Conference memfasilitasi diskusi strategis lintas sektor.
Sementara itu, Market Screening menyuguhkan pemutaran karya terkurasi bagi buyer dan mitra distribusi internasional.
Dengan struktur program yang kian matang, JAFF Market terus memperluas jangkauan, mempertemukan para pelaku utama industri, dan mempertegas peran Indonesia sebagai simpul penting dalam jaringan perfilman Asia.
Seiring itu, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) juga akan menggelar perayaan 20 tahun pada 29 November – 6 Desember 2025, dengan program retrospektif, pemutaran perdana, dan forum internasional yang mempertemukan sineas, pemangku kepentingan, dan festival dari berbagai negara.
Kehadiran ganda antara festival dan market ini tidak hanya menandai capaian historis dua dekade, tetapi juga memperlihatkan arah baru sinema Asia yang lebih kolaboratif, inklusif, dan kompetitif secara global.
JAFF baik festival dan pasarnya kini menjadi garda depan dalam menegaskan posisi Indonesia sebagai simpul penting dalam jaringan ekonomi kreatif Asia.