Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr. M. Mukhlis Rudi Prihatno memberi keterangan pers di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (18/8/2025) malam, terkait dengan pengajuan permohonan uji materi Pasal 187 Ayat (4) dan Pasal 209 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. ANTARA/Sumarwoto
Matamata.com - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr. M. Mukhlis Rudi Prihatno, menilai uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) perlu dilakukan demi kepastian hukum serta masa depan pendidikan kedokteran di Indonesia.
Rudi, bersama seorang dokter spesialis dan dua mahasiswa kedokteran, telah mendaftarkan permohonan uji materi terhadap UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ke MK.
“Undang-Undang Kesehatan ini sebenarnya bukan undang-undang yang buruk, undang-undang yang bagus. Tapi untuk khusus pendidikan itu memang berbeda,” katanya di Purwokerto, Senin (18/8) malam, didampingi kuasa hukumnya, Azam Prasojo Kadar.
Rudi menilai penghapusan UU Pendidikan Kedokteran memicu polemik, termasuk aksi protes mahasiswa dan guru besar dari berbagai perguruan tinggi. Padahal, menurutnya, selama ini penyelenggaraan pendidikan kedokteran yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi sudah berjalan baik.
“Sudah 50 tahun pendidikan kedokteran kita itu berjalan dan lancar, ditambah dengan adanya Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, kemudian tiba-tiba dicabut,” ujarnya.
Ia menyoroti adanya perbedaan pendekatan antara sistem hospital-based (berbasis rumah sakit) dengan university-based (berbasis perguruan tinggi) dalam pendidikan dokter spesialis. Menurutnya, hal tersebut menimbulkan kerancuan mengenai kewenangan pemberian gelar akademik.
“Dengan adanya skema hospital-based dalam pendidikan dokter spesialis, muncul pertanyaan apakah rumah sakit memiliki kewenangan tersebut,” kata Rudi.
Selain itu, lanjutnya, rumah sakit sebagai institusi layanan kesehatan dinilai belum tentu mampu menjalankan tridharma perguruan tinggi yang meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ia juga menilai skema hospital-based berpotensi mengurangi kuota mahasiswa karena rumah sakit digunakan bersama oleh beberapa universitas.
“Faktanya, kuota mahasiswa justru berkurang dari universitas dan dialihkan ke hospital-based. Padahal, jika tujuannya menambah tenaga dokter spesialis, semestinya jumlahnya bertambah, bukan bergeser,” katanya.
Kuasa hukum pemohon, Azam Prasojo Kadar, menegaskan bahwa uji materi yang diajukan pada 13 Agustus 2025 menyasar Pasal 187 Ayat (4) dan Pasal 209 Ayat (2) UU Kesehatan.
Baca Juga: Menginjak Usia 50 Tahun, Kris Dayanti Mulai Kuliah, Ini Alasannya
“Harapan kami Mahkamah Konstitusi segera menggelar sidang agar konflik dualisme antara pendidikan berbasis universitas dan berbasis rumah sakit dapat diselesaikan. Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional masih berlaku, sehingga seharusnya pendidikan dokter tetap berada di ranah pendidikan tinggi,” katanya.
Menurut Azam, menjadikan rumah sakit sebagai penyelenggara utama pendidikan dokter spesialis tidak sesuai dengan Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945.
“Kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat mengembalikan marwah pendidikan kedokteran pada jalur yang benar, yaitu berada di bawah Kementerian Pendidikan,” tegasnya. (Antara)